(Oleh: Sahib Munawar, S.Pd., I.M.Pd)
Mandiolinews com Diskursus mengenai tambang kini menjadi isu krusial, mengingat dampaknya yang besar terhadap ekosistem baik di darat maupun di laut. Kerusakan pada ekosistem hutan dan lautan tentu bukan tanpa sebab, melainkan dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, salah satunya adalah aktivitas tambang.jumat 14-02-2025.
Perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di Maluku Utara, seperti PT Iwip di Halmahera Timur, PT Haritta di Kepulauan Obi Halmahera Selatan, dan beberapa lainnya, sering dikaitkan dengan kerusakan ekologi, pencemaran perairan, dan penurunan kualitas hidup masyarakat sekitar. Aktivitas eksplorasi nikel, misalnya, diduga menjadi salah satu pemicu pencemaran yang merugikan lingkungan dan warga setempat. Namun, pemerintah seakan abai dalam melihat keterkaitan antar ekosistem yang saling mendukung, yang pada gilirannya mempengaruhi kualitas hidup manusia. Kerusakan hutan di hulu, yang dapat menyebabkan kerusakan di hilir (sungai, laut, dsb.), seringkali dipandang sebelah mata, padahal ada interaksi yang erat antara manusia dan alam.
Undang-undang mengenai pertambangan dan mineral, seperti UU No. 3 Tahun 2020 dan UU No. 26 Tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi laut, seolah dijadikan alat untuk kepentingan elit, baik investor asing maupun perusahaan besar. Hal ini menjadi bahan perdebatan yang cukup hangat di kalangan masyarakat, terutama di Maluku Utara.
Pada 11 Februari 2025, seiring dengan perayaan Hari Pers Nasional, teman-teman jurnalis di Halmahera Selatan mengadakan sebuah dialog yang mengangkat tema mengenai tambang dalam diskursus media. Acara yang digelar di Kafe Fatimah tersebut menghadirkan sejumlah narasumber, seperti mantan jurnalis, Kapolres, akademisi, anggota DPRD, serta perwakilan pemerintah daerah. Saya berkesempatan hadir dan mendengarkan paparan mereka mengenai isu tambang, peran media dalam menyikapi tambang, dan sebagainya.
Dalam dialog tersebut, salah satu narasumber menyentil pemikiran Pramoedya Ananta Toer, khususnya mengenai pentingnya menulis sebagai bentuk kontribusi terhadap sejarah dan peradaban. Saya kemudian menanggapi dengan mempertanyakan apakah mereka sudah membaca Pramoedya melalui buku Max Lane, yang memberikan interpretasi berbeda terhadap karya-karya Pram. Menurut Max Lane, dalam karya-karya besar seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, Pram tidak pernah menulis kata "Indonesia", karena bagi Pram, Indonesia belum hadir dalam realitas masyarakatnya pada saat itu.
Saya merasa bahwa media, dalam banyak hal, kadang menjadi alat penguasa atau pemerintah untuk menutupi kekurangannya, seperti kasus korupsi dan lainnya. Sebagai institusi yang seharusnya menjaga independensi dan kode etik jurnalistik, media harus kritis dan berani mengungkap kebusukan penguasa, bukan malah menutupinya. Setiap kalimat dalam berita harus disampaikan dengan hati-hati agar tidak menyesatkan atau berpotensi menjadi hoaks.
Media juga sering kali digunakan sebagai alat untuk memanipulasi pendapat umum. Jika opini yang disebarkan diterima oleh masyarakat luas, media dianggap berhasil. Dalam teori Michael Foucault tentang ide dan kekuasaan, media memang harus mempengaruhi arah politik, tetapi pada kenyataannya, media seringkali dikendalikan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atasnya. Hal ini menyebabkan pengetahuan yang disampaikan oleh media tidak lagi netral, tetapi cenderung dikuasai oleh kepentingan penguasa.
Sebagai tambahan, saya menyarankan untuk membaca buku "Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab" yang mengangkat peran penting media dalam mengkritisi kebijakan pemerintah. Ali Sadikin, sebagai mantan gubernur DKI Jakarta, pernah mengungkapkan bahwa ia tidak alergi terhadap kritik media. Menurutnya, wartawan adalah karyawan pemerintah yang tidak digaji negara, dan seharusnya bertugas mengkritisi kebijakan yang tidak sesuai dengan kepentingan rakyat.
Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi tambang memang sulit diungkapkan dengan jelas oleh media. Seringkali wartawan tidak fokus pada isu tertentu, dan akibatnya pemberitaan mengenai isu lingkungan tidak mendapat perhatian yang semestinya. Isu lingkungan, seperti kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh eksploitasi lahan dan hutan, harus menjadi perhatian serius media. Sebagaimana dikatakan Albert Schweitzer, etika kita sering kali terlalu fokus pada hubungan manusia, tanpa memperhatikan hubungan kita dengan alam. Dalam filsafat Islam, ada konsep "Hablum minal alam", yang berarti bahwa kita juga memiliki kewajiban untuk menjaga alam. Kerusakan alam bukan hanya merugikan lingkungan, tetapi juga diri kita sendiri.
Akhirnya, saya ingin mengutip sebuah sabda Islam yang mengingatkan kita tentang tanggung jawab terhadap harta milik umum. Dalam Islam, negara berkewajiban mengelola sumber daya alam demi kesejahteraan rakyat, bukan untuk keuntungan individu atau korporasi. Seperti yang dikatakan oleh Kahlil Gibran, kita adalah tamu yang terhormat di bumi ini, maka janganlah kita bertindak seperti pengemis yang hanya menginginkan serpihan dunia.
Demikian, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dan pemahaman lebih dalam mengenai pentingnya menjaga keseimbangan antara pertambangan, media, dan lingkungan demi kesejahteraan bersama.
Tim: Mandiolinews
0Komentar