Mandiolinews com.Relasi antara agama dan politik selalu menjadi diskursus yang penuh tarik-menarik kepentingan. Agama memiliki peran strategis dalam membentuk nilai dan norma dalam masyarakat, sementara negara sering kali menjadikan agama sebagai alat legitimasi dogmatis untuk mengontrol warga negara agar patuh terhadap aturan yang ada. Hubungan timbal balik ini kerap melahirkan hegemoni antara keduanya.
Ketika agama terlalu mendominasi negara, hasilnya adalah teokrasi yang dapat menimbulkan hipokrisi moral maupun etika di kalangan pemuka agama. Sebaliknya, dalam politik, agama sering kali dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan. Oleh karena itu, perdebatan mengenai apakah agama harus dilibatkan dalam urusan politik atau tetap menjadi ranah privat terus menjadi polemik dalam sejarah manusia modern.
Di Indonesia, diskursus ini telah berlangsung sejak awal kemerdekaan. Salah satu contohnya adalah perubahan Piagam Jakarta, di mana kalimat "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" demi menjaga persatuan bangsa.
Politik Identitas Agama di Maluku Utara
Pasca-Reformasi, politik identitas berbasis agama dan etnis semakin mencolok di Maluku Utara. Pada 2013, mobilisasi etnis dalam kontestasi politik secara terbuka dilakukan oleh elite politik dan birokrasi.
Fenomena ini memperkuat politik berbasis etnis dan agama, yang semakin mengakar dalam kehidupan sosial masyarakat Maluku Utara.
Banyak elite politik di daerah ini berasal dari kelompok tradisional, seperti kesultanan, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Mereka menyesuaikan diri dengan struktur birokrasi modern, tetapi tetap membawa pengaruh dari latar belakang tradisionalnya.
Pandangan Bakunin tentang Agama dan Politik
Mikhail Alexandrovich Bakunin (1814–1876) adalah seorang filsuf politik asal Rusia yang dikenal sebagai salah satu pemikir anarkis terkemuka. Dalam pandangannya, agama adalah bentuk otoritas yang mengekang kebebasan manusia. Ia berpendapat bahwa agama menggunakan konsep surga dan neraka sebagai alat pemaksaan agar masyarakat tunduk kepada pemuka agama dan elite politik yang berkepentingan.
Menurut Bakunin, agama juga memperkuat ketidaksetaraan sosial dengan membuat kaum miskin tetap pasrah terhadap nasib mereka, percaya bahwa keadilan sejati hanya akan datang di akhirat. Hal ini, menurutnya, sering dimanfaatkan oleh elite agama dan politik untuk meraih kekuasaan, termasuk dalam kampanye politik.
Bakunin juga mengkritik agama sebagai kekuatan sosial yang melindungi hak istimewa kaum elite dengan mengorbankan massa. Isu-isu seperti SARA dan kerusuhan politik atas nama agama adalah contoh nyata dari bagaimana agama dapat digunakan sebagai alat dominasi dan konflik.
Seorang pemikir lain, Periyar, memiliki kesamaan pandangan dengan Bakunin dalam menentang segala bentuk kekuasaan sosial yang menindas. Namun, kritik Bakunin terhadap negara sebagai entitas yang hanya membawa perpecahan dan kekerasan dianggap kurang relevan jika diterapkan secara umum.
Kritik tersebut lebih sesuai untuk negara-negara imperialis yang menggunakan kekuatan mereka untuk menindas bangsa lain demi kepentingan kapitalisme.
Penutup
Relasi antara agama dan politik selalu menjadi perdebatan panjang. Ketika agama terlalu mendominasi, ia dapat mengekang kebebasan individu dan memperkuat kekuasaan elite. Sebaliknya, jika agama ditepikan sepenuhnya, ia dapat kehilangan perannya sebagai pembimbing moral dalam kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu, keseimbangan antara keduanya perlu terus dijaga agar tidak melahirkan politik yang penuh kepentingan sempit dan manipulatif.
Sahib Munawar, S.Pd.I, M.Pd16 Maret 2025
0Komentar