Mandiolinews com.Islam sebagai sebuah ajaran memiliki beragam pemahaman yang dipengaruhi oleh berbagai aliran dan mazhab. Oleh karena itu, penting untuk melihat proses islamisasi dari sudut pandang antropologi. Dalam perspektif ini, Islam dapat dipahami sebagai model of reality—yakni sebuah bentuk adaptasi terhadap realitas sosial—bukan sekadar model for reality yang harus diterapkan secara kaku. Pendekatan ini memungkinkan pemahaman Islam yang lebih intersubjektif, tidak terjebak dalam satu konsep tunggal.
Islamisasi dalam Sejarah
Dalam sejarahnya, Islam tidak serta-merta hadir sebagai sebuah ajaran yang sudah jadi. Islam lebih mirip seperti air yang dapat mengisi berbagai ruang, sekaligus menghanyutkan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilainya. Fleksibilitas ini terlihat sejak zaman Nabi Muhammad SAW, di mana ajaran Islam tetap berpijak pada prinsip tauhid yang kokoh namun tetap bisa berdialog dengan budaya setempat.
Tauhid menjadi prinsip utama dalam kehidupan beragama yang tidak bisa diganggu gugat. Namun, dalam proses penyebarannya, Islam tetap berkompromi dengan budaya setempat selama tidak bertentangan dengan ajaran pokoknya. Sebagai contoh, meskipun Islam menolak praktik penyembahan berhala yang merupakan simbol oligarki Quraisy, ia tetap mempertahankan beberapa budaya yang tidak bertentangan dengan tauhid, seperti praktik rukuk dan sujud yang memiliki kemiripan dengan ritual dalam agama Nasrani dan Yahudi.
Islam dan Budaya: Sebuah Dialektika
Dalam konteks sosial, Islam mengalami fase di mana ia menjadi agama yang terinstitusionalisasi secara resmi. Namun, pemaknaan atas kesempurnaan Islam sering kali disalahartikan sebagai larangan terhadap segala bentuk perubahan atau akulturasi dengan budaya luar. Pemikiran ini banyak dianut oleh kelompok Islam puritan yang menolak berbagai bentuk enkulturasi.
Sayyid Qutb, seorang mufasir asal Mesir, membagi budaya menjadi dua kategori: budaya yang berkaitan dengan akidah dan nilai moral harus dijaga kemurniannya agar tidak terpengaruh oleh unsur jahiliyah, sementara ilmu pengetahuan, manajemen, dan teknologi dapat diadopsi dari berbagai sumber. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam terdapat spektrum pemahaman yang beragam, di mana ada kelompok yang lebih ketat dalam menjaga kemurnian ajaran, sementara yang lain lebih fleksibel dalam menerima unsur baru selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Islam dan Tradisi di Maluku Utara
Maluku Utara memiliki tradisi Islam yang telah diwariskan secara turun-temurun. Beberapa tradisi Islam yang berkembang di daerah ini antara lain:
Selo Buto, Ohodina, Cokaiba, dan Popas Lipu, yang merupakan tradisi masyarakat Kota Tidore Kepulauan dalam menyambut Lailatul Qadar.
Ohodina, tradisi mengirim doa bagi orang yang baru meninggal, yang masih dijalankan di Kelurahan Jambula.
Cokaiba, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilakukan di daerah Weda, Patani, dan Maba. Nama Cokaiba sendiri berarti "topeng setan" dan biasanya ditampilkan pada malam 12 Rabiul Awal.
Popas Lipu, tradisi keliling kampung (kie) yang dilakukan oleh masyarakat Kesultanan Bacan di Kabupaten Halmahera Selatan dalam menyambut tahun baru Islam, sebagai bentuk permohonan perlindungan dari wabah dan bencana.
Dodora dan Kabata, bentuk sastra lisan khas Maluku Utara yang terus dipertahankan sebagai bagian dari warisan budaya Islam di wilayah ini.
Pemerintah daerah dan kesultanan setempat memiliki peran penting dalam melestarikan dan mengembangkan tradisi-tradisi Islam ini. Salah satu caranya adalah dengan menjadikan tradisi tersebut sebagai bagian dari kegiatan resmi kesultanan, dengan dukungan penuh dari pemerintah daerah.
Kesimpulan
Melalui kajian Clifford Geertz, kita dapat memahami hubungan antara Islam dan budaya di Maluku Utara dalam perspektif antropologi. Islam bukan hanya sekadar ajaran yang sudah baku, tetapi juga berkembang sesuai dengan realitas sosial di berbagai daerah. Kesempurnaan Islam terletak pada prinsip dan nilai-nilainya, bukan semata-mata pada bentuk praksisnya.
Pendekatan antropologi dalam memahami Islam menunjukkan bahwa keberagaman dalam praktik keagamaan adalah sesuatu yang wajar. Selama nilai-nilai utama dalam Islam tetap terjaga, akulturasi dengan budaya setempat tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih inklusif dan terbuka terhadap budaya akan memperkaya Islam, bukan sebaliknya.
(Sahib Munawar, S.Pd.I., M.Pd – 10 Maret 2025)
0Komentar