Mandiolinews com Ngopi di Maluku Utara menjelma jadi rutinitas suci. Tapi di balik uap panas kopi itu, ada dinginnya tipu daya kekuasaan. Ini bukan sekadar budaya santai—ini strategi pelumpuhan.
Ngopi di Maluku Utara sudah jadi semacam agama baru. Dari emperan pelabuhan, lorong kampus, sampai rooftop hotel, cafe, kopi diseruput dengan khusyuk. Tapi tunggu dulu apa yang sebenarnya kita teguk? Cita rasa kopi lokal yang autentik, atau hegemoni para elite yang diselipkan dalam gelas?
Kafe-kafe tumbuh subur di Ternate, Tidore, dan bacan serta deretan tanah Halmahera bukan karena semangat wirausaha rakyat, tapi karena aroma kekuasaan yang disajikan dalam cangkir mahal. Ruang diskusi? Bohong. Itu ruang jinak. Di sanalah para elite berbicara atas nama rakyat, padahal mereka tak pernah benar-benar mendengar.
Warung kopi rakyat yang dulunya penuh letupan gagasan dan keresahan hari ini mulai dipinggirkan. Digusur bukan oleh excavator, tapi oleh wacana palsu: modernisasi, lifestyle, networking. Semua dibungkus manis agar kita tak sadar sedang dilumpuhkan. Sekarang kritik pun harus ber-AC dan pakai kopi latte dua shot.
Lebih parah lagi, para oportunis lokal ikut bermain. Aktivis yang dulu lantang, kini jadi fasilitator diskusi pesanan. Akademisi berubah jadi buzzer berlabel ilmiah. Semua duduk manis, mengangguk, dan pura-pura peduli. Ngopi jadi panggung pertunjukan kepalsuan massal.
Di kafe-kafe justru jadi tempat para elite mencuci tangan mereka—membentuk opini, menjinakkan kritik, membangun narasi. Semua dibungkus dalam gaya santai, dengan kopi latte dan senyum palsu.
Petani kopi? Masih berkutat dengan harga tak menentu. Anak muda di kampung? Masih berjuang dengan sekolah rusak dan sinyal tak stabil. Tapi kita di kota sibuk ngopi dan mengira diri sedang "membangun daerah". Lucu.
Ngopi di Maluku Utara bukan lagi soal rasa. Ini soal kelas. Soal siapa yang boleh bicara dan siapa yang dijaga tetap diam. Dan selama kita terus menyeruput tanpa sadar, kita bukan sedang menikmati kopi—kita sedang membantu kekuasaan membungkam.
Saatnya balikkan meja. Bawa kopi kembali ke rakyat. Buka ruang diskusi di tanah lapang, bukan di ruangan elit. Karena kalau ngopi terus jadi alat hegemoni, kita tak lebih dari pion dalam permainan yang tak pernah kita menangkan.
Sudah waktunya ngopi kita diseduh dengan kesadaran. Jangan biarkan kopi jadi pelarian dari kenyataan. Duduk, seruput, lalu lawan.
Tim Mandiolinews
0Komentar